Oleh: Syahril Rachman
(Pimpinan Pondok M2IQ Sulawesi Tengah)
RUKUN Islam keempat, yaitu puasa Ramadan, memiliki dimensi ganda: dimensi ketuhanan (hablu minallah) dan dimensi kemanusiaan (hablu minannas). Tujuan akhir dari puasa adalah mencapai predikat ‘takwa’, sebagaimana diwahyukan Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 183. Ayat ini menjelaskan secara tegas bahwa manusia perlu melatih diri secara berkelanjutan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan melalui ibadah puasa. Upaya ini bertujuan untuk menjadikan seorang hamba yang bertakwa sebagai sosok manusia yang utuh (insan kamil), sekaligus menjadi muslim yang paripurna (muslim kaffah).
Melalui pembiasaan menahan lapar dan dahaga, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan, puasa dapat melatih seseorang untuk berpikir tajam, memiliki ilmu yang luas, bertindak dewasa, bersikap bijaksana, berhati lapang, memiliki keberanian sosial, dan berjiwa besar. Sikap-sikap tersebut dapat dicapai karena puasa melatih seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu. Oleh karena itu, sudah menjadi sebuah tesis bahwa salah satu metode yang terbukti efektif untuk pengendalian hawa nafsu adalah melalui puasa. Hal ini dikarenakan hawa nafsu selalu berkaitan erat dengan berbagai kesenangan duniawi.
Mengekang hawa nafsu merupakan langkah yang penuh tantangan, sehingga proses ini diposisikan sebagai jihad akbar. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya, “Jihad apakah yang lebih besar, ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Jihad yang besar) ialah memerangi hawa nafsu.” (HR Bukhari)
Dalam konteks ini, puasa tentu akan membentuk pribadi manusia dalam proses kesalehan individual. Akumulasi dari kesalehan individual akan menghasilkan kesalehan keluarga (sakinah, mawaddah, warahmah) dan berimplikasi pada terbangunnya kesalehan komunal (kesalehan sosial). Sifat saling pengertian dan saling menghargai antarsesama masyarakat dalam sebuah kelompok sosial akan memengaruhi proses komunikasi, transformasi, dan aktualisasi sosial dengan mengedepankan semangat kebersamaan yang ditandai dengan sikap saling memberi dan menerima secara sadar dan ikhlas, tanpa rekayasa pencitraan. Dalam situasi seperti ini, manusia sebagai bagian dari kelompok sosial akan dapat menyadari dan memahami kelemahan serta kelebihannya.
Kekhasan Ibadah Puasa dalam Kerahasiaan
Ibadah puasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan ibadah lainnya, terutama dalam hal kerahasiaan. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, “Puasa itu adalah rahasia antara Aku dan hamba-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rahasia didefinisikan sebagai sesuatu yang sengaja disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, atau sesuatu yang belum dapat atau sukar dipahami, atau sesuatu yang tersembunyi.
Kerahasiaan puasa mencakup pola dan cara yang tersembunyi, serta kepercayaan yang diberikan kepada orang yang berpuasa (shaim) untuk tidak mengungkapkannya kepada orang lain yang tidak berwenang. Hal ini menciptakan kesan ibadah yang dilakukan secara diam-diam, tidak terang-terangan.
Para saleh terdahulu seringkali merahasiakan amal puasa mereka. Mereka menjaga bibir mereka tetap basah agar tidak ada yang menduga mereka sedang berpuasa. Oleh karena itu, puasa adalah rahasia antara kita dan Allah, dan sebaiknya dirahasiakan, dihindari dari riya atau sekadar mencari pujian manusia.
Hanya tiga pihak yang mengetahui secara pasti seseorang sedang berpuasa: Allah SWT, malaikat pencatat amal, dan orang yang berpuasa itu sendiri. Hal ini berbeda dengan rukun Islam lainnya seperti syahadat, salat, zakat, dan haji yang dapat diamati secara kasatmata. Syahadat tercatat dalam identitas kependudukan, salat terlihat dari gerakan dan bacaannya, zakat diketahui melalui transaksi dengan amil atau mustahik, dan haji diketahui oleh penyelenggara negara dan masyarakat.
Kerahasiaan puasa dipengaruhi oleh keistiqamahan seseorang dalam menjalankannya. Seseorang yang teguh berpuasa tidak akan tergoda untuk makan atau minum, meskipun berada di rumah sendiri dan memiliki makanan halal. Hal ini menunjukkan pengendalian diri yang kuat.
Godaan dalam menjaga kerahasiaan puasa tentu ada, seperti banyaknya warung makan yang buka di bulan Ramadan. Namun, mereka yang mampu menahan diri telah lulus ujian kerahasiaan. Sebaliknya, mereka yang tergoda telah membuka rahasia puasanya di hadapan diri sendiri, malaikat, Allah, dan orang lain.
Godaan puasa tidak hanya terbatas pada makan dan minum, tetapi juga mencakup segala bentuk kesenangan duniawi. Esensi puasa adalah menahan diri secara lahir dan batin, yang menjadi ujian berat dalam kerahasiaan.
Kerahasiaan puasa mengajarkan kita untuk melatih keikhlasan dalam beribadah dan berbuat baik, serta menghindari riya. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kebaikan, tetapi puasa mengajarkan kita untuk melakukannya secara tulus.
Kerahasiaan puasa dapat menjadi sumber inspirasi untuk ikhlas dalam menjalankan ibadah dan amal saleh lainnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah 271, menyembunyikan sedekah lebih baik daripada menampakkannya. wallahu a’lam bishawab. (***)