Paradoksal: Spirit Ekologi dan Gaya Hidup Konsumtif

OPINI
Bagikan ke :

Oleh: Mustakiram, S.Sos., M.Ag
(Dosen UIN Alauddin Makassar)

Dalam sebuah forum diskursus pemikiran bulan lalu, ada satu narasi bagi penulis yang sangat paradoks disampaikan oleh pemantik dari hasil survey Indicator di Indonesia yang mempertanyakan “manakah yang lebih diprioritaskan antara kelestarian lingkungan atau pertumbuhan ekonomi?” jawaban dari responden terhadap kesadaran ekologi mencapai 85% ketimbang pertumbuhan ekonomi sebesar 15%, ini berarati kesadaran ekologi di Indonesia lebih besar dari pada pertumbuhan ekonomi. Lalu problemnya adalah  dari keinginan dan praktek lebih berpihak pada pertumbuhan ekonomi ketimbang keberpihakan pada ekologi. Parekatek ini hampir segala sektor baik dalam sekala peperintah sebagai pembuat kebijakan (esekutif, legislative, dan yudikatif) maupun masyarakat kecil bertindak dan menjadi penghiatan terhadap kesadaran ekologi. Lalu, dari mana sumber permasalahan ini? Hubungan antara Jawaban dan praktek tidak memiliki korespodensi di dalamnya. Maka bagi penulis sumber masalah ini yaitu gaya hidup yang terlalu konsumtif. Tentu ungkapan ini terlalu ceroboh disampaikan di awal tulisan untuk mengambarkan sumber dari masalah ekologi adalah budaya konsumtif.

Sebagai langkah paradigmatik, penulis ingin mencoba menelusuri dari mana lahirnya budaya konsumtif itu, semakin hari semakin meludak tidak mampu lagi dibendung hingga saat ini. Penulis melihat adanya pergeseran cara pandang melihat alam kalau kita menggunakan terma-nya Thomas Kunt adanya pergeseran paradigma (Shifting Paradigm), tentu hal ini membutuhkan analisis kesejarahan. Bagi penulis yaitu mulai munculnya suatu komunitas masyarakat yang melihat alam sebagai objek (komuditi) yang harus dimiliki oleh setiap individu. Alam tidak lagi dilihat sebagai penyedia sumber makanan bagi keberlangsungan hidup umat manusia untuk dikelolah secara bersama-sama akan tetapi alam dilihat sebagai komoditi dan diprivatisasi bagi individu-individu maka muncullah konsep kepemilikan di tengah masyarakat (baca: dialektika material). Ibnu khaldun sendiri mengakui adanya pergesearan di tengah masyarakat. Ketika dia mencoba menelaah, menganalisis, dan pengklasifikasian masyarakat, antara masyarakat Badui dan Masyarakat Khadr. Ibnu Khaldun melihat, bagaimana proses-proses terbentuknya Masyarakat Kota (Khadr), analisis Ibnu Khaldun berangkat dari kepemilikan komuditi dari Masyarakat Desa (Badui) ke Masyarakat Kota (Khadr). Lebih jauh Ibnu Khaldun menguraikan dikatakan masyarakat Desa apabila masyarakat itu hanya mampu memenuhi standar hidupnya pada kebutuhan Primer semata sedangkan dikatakan masyarakat Kota apabila masayarakat itu telah mampu memenuhi kebutuhan primer dan memiliki kebutuhan sekunder maka dapat dikategorikan sebagai masyarakat kota (Khadr) (baca: Muqaddimah).

Bagi penulis, Pergeseran cara pandangan ini akan terus berkelanjutan seiring kebutuhan dan keinginan manusia yang semakin kompleks. Pergeseran antara keinginan menjadi kebutuhan membuat manusia semakin seraka dan akhirnya memperkaya diri, alam terus diprivatisasi dan menjadi komudiitas untuk diperebutkan oleh individu-individu memunculkan klaster-klaster di tengah masyarakat, manusia ditentukan dari banyaknya kekayaan yang dihimpun. Memasuki abad pertengahan kegilaan dan keserakaham semakin menjadi-jadi, kekerasan, peperangan, pertumpahan darah bahkan nyawa manusia pun direngut demi spririt mengumpulkan kekayaan. Salah satu tokoh yang sangat baik menguraikan hal ini yaitu Jurgen Hebermas. Dia  menuangkan melalui karya The structure transformation of the public sphere. Gagasan Hebermas mengantarkan pada pemahaman yang utuh dari mana sumber terjadinya budaya konsumen. Tahapan analisisnya Hebermas dimulai dari pembentukan ruang publik. tetntu karya-nya ini mengfokusi ruang publik akan tetapi bagi penulis melalui karya ini kita dapat melacak lebih jauh perkembangan budaya konsumen melalui analisis Hebermas tentang ruang publik.

Heberms melihat pembentukan awal ruang publik dimualai dari kelas-kelas berjuasi yang bertindak bebas di ruang terbuka, mulai dengan tradisi pengiriman surat  berbentuk prosa yang berima, lambat laun berbentuk puisi, pada tahap selanjutnya kebiasaan seperti ini diberikan ruang untuk bebas menyampaikan di ruang terbuka dan orang lain bisa menikmati ekspresi-ekspresi mereka di tempat umum disebut dengan ruang publik (The Public Sphere). Hebermas tidak melepaskan dari analisis kesejarahannya tentang pembentukan ruang publik. bahwa ruang publik memiliki struktur dan bertransformasi, hebermas memetakan dari zaman pra-kerajaan, zaman kerajaan dan abad moderen sampai terbentuknya ruang publik. Zaman prakerajaan manusia bertindak memenuhi kehidupannya perpindah-pindah tempat di mana ada pasokan makanan maka mereka akan berpindah-pindah tempat sesuai musim dan siklus Alam, sedangkan masa kerajaan mumunculkan dua tipologi masyarakat yaitu masyarakat kelas pekerja (budak) dan pemilik tanah, orang-orang yang bisa bertindak tempat umum hanyalah para bangsawan dan aristocrat kelas pekerja tidak bisa bertindak sesuka hati mereka, keluh kesah dan ratapan mereka di tempat umum tidak diperdengarkan malah menjadi lelucon yang dipertontongkan. Namun  pada era moderen yang menjadi ukuran seseorang bisa bereksperi di ruang publik hanyalah orang  yang bisa berpikir dan bertindak rasioanal. Dalam analisis Hebermas orang-orang bertindak rasiaonal pada era moderen mengarah pada spesifikasi kepada kelompok-kelompok tertentu yaitu orang-orang borjuasi yang memiliki bannyak waktu luang untuk bertindak sesuka hati di runag publik bukan orang-orang ploretar yang menghabiskan waktunya untuk bekerja. (Baca: The Structure Transformation of The Public Sphere).

Heberms bagi penulis sudah meletakan gagasananya tentang ruang publik sebagai arena yang kompleks dengan  berbagai kepentingan. Ruang publik hanya diisi oleh kelompok-kelompok borjuasi melahirkan reaksi dan resistensi dari kelompok lain sebagai budaya tandingan atas dominasi borjuasi. Isuh-isuh rasial juga ikut berkembang mewarnai masyarakat eropa maka lahirkan praktek club-club malam, diskotik, café-café sebagai bentuk perlawanan dari ras kulit hitam. Di satu sisi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi, suara-suara mereka tidak diperdengarkan di ruang publik memberikan tindakan dan reaksi maka lahirlah budaya anak-anak Punk menggunakan tato dan coretan kritis di tubuh-tubuh mereka sebagai bentuk kekecewaan kepada penguasa. pertautan tindakan dan perlawanan di ruang publik memicu ketertarikan academisi mempelajari kebudayaan (culture studies) terutama dari golongan Mazhab Frankfut. Studi-studi kebudayaan mulai terinstitusionalisasi melalui kampus-kampus seperti karya-karya yang ditampilkan oleh Piere Bourdieu  melihat praktek-praktek masyarakat eropa di ruang publik, terjadinya gap dan kesenjangan begitu jauh antara kelas pemodal dan kelas pekerja memicu kemunculan kelas menengah baru (borjuasi baru) dengan meniru produk-produk yang dihasilkan oleh kelas borjuasi raksasa. Pada tahap ini manusia dikonstruk melalui produk-produk yang dihasilkan oleh kelas-kelas borjuasi seperti mulai menanamkan kondisi tubuh yang ideal bagi perempuan melalui produk kecantikan. Tubuh yang ideal harus sesuai dengan desainer para Borjuasi. Mulai dikempanyekan melalui poster, televisi dan media masa lainnya untuk mengiklankan produk-produk perusahaan raksasa dan borjuasi baru membentuk praktek konsumtif masyarakat eropa. Di sisi lain, para seniman dan teknokrat menciptakan karya-karya yang dapat mengkonstruk kesadaran masyarakat melalui karikatur, perfileman, untuk memudahkan para borjuasi menghasilakn produk, begitupun juga cara yang digunakan teknokrat mulai mendesain tata ruang dengan pengiklaman rumah impian membawa kesadaran individu dan masyarakat menginginkan rumah impian dengan cara pandang particular melihat alam. Kondisi yang begitu kompleks ini dengan mudah merubaah paradigma individu menjadi masyarakat konsumerisme, hal ini digambarkan oleh Jean baurdrillard dengan istilah tehnis simolakrum dan hyperreality, (Baca: Celia Lurry, Budaya Konsumen).

Penulis tidak mengesampingkan peran Negara dan institusi-intitusi Internasioanl yang ikut bermain dalam penanaman paradigma ini. Ketika terjadinya over-produksi tahun 1930-an, antara hasil produksi dan permitaan pasar tidak stabil maka Negara mengambil alih pasar, terjadi ekspansi dan sirkulasi ekonomi melahirkan juga konfrensi Lembaga Internasional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dengan tujuan mencegah penghambatan dan mempermudah sirkulasi ekonomi bersama Negara-negara anggota lainnya. pada tahap selanjutnya untuk meningkatkan produksi maka lembaga ini digantikan dengan WTO (Word Trade Organisation) tahun 1994 sebagai arena pertarungan dunia perdagangan. Belakangan Negara-negara Asia membentuk MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Penulis membaca, kehadiran Lembaga-lembaga ini sebenarnya menanamkan paradigma Konsumeristik kepada masyarakat global (Global Citizenship), cara pandang simplistic seperti ini menjadi problem bagi masyarakat moderen, seolah-olah dengan dipenuhinya ekonomi masyarakat global maka masalah telah dapat diselesaikan tanpa memikirkan lebih jauh apa efek yang akan dihasilkannya. Lalu, apa hubungan antara ekologi dan budaya konsumerisme?, mengapa penulis panjang lebar menguraikan budaya konsumerisme dari pada ekologi?

Penulis memiliki pemahaman bahwa sebab utama dari kerusakan Alam bersumber dari penanaman paradigma konsumerisme di tengah-masyarakat global (Global Citizenship). Desain pertumbuhan ekonomi akan selalu berdampak pada kerusakan lingkungan baik skala global maupun skala nasional. Pembangunan infrastruktur sebenarnya mempercepat distribusi produksi-produksi perusahaan memiliki efek pada kerusakan lingkungan. Dimulai dengan desain tata ruang kota tidak ramah lingkungan, ruas-ruas perkotaan diisi dengan beton-beton dan gedung-gedung menunjang ke atas melampauwi kapasitas dan struktur tanah, limbah insustri dan sampah-sampah plastik dari hasil konsumsi masyarakat perkotaan menyebabkan pencemaran udara, di tambah lagi aktivitas kendaraan masyarakat, desain rumah-rumah kaca dan gedung-gedung perkotaan memiliki efek pada karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrogen Oksida (N2O), menyerap radiasi inframerah yang dipancarkan oleh Bumi, akibatnya, Bumi mengalami peningkatan suhu. Selain itu produk-produk industry terus dikempanyekan, dan diiklankan di media sosial menjadikan masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif, akhirnya permintaan pasar terus meningkat produksi-produksi perusahaan pun juga terus meningkat. Di sisi lain pemerintah juga memiliki andil kerusakan lingkungan dengan alasan kesetabilan dan pemerataan ekonomi menyadiakan infrastruktur dengan cara pembebasan lahan dan pembabatan hutan besar-besaran demi memenuhi permintaan pasar dan sirkulasi ekonomi.  Di sisi lain para Petani jagung pun ikut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan dengan alasan bertahan hidup membabat hutan membabi buta demi mendapatkan hasil panen yang banyak, dan hasil ini pun dipergunakan lagi untuk membeli produk-produk industry yang berdapak pada kerusakan lingkungan kembali.

Maka bagi penulis dengan kompleksnya aktivitas konsumtif masyarakat kerusakan lingkungan akan terus mengalami palipurna. Jika gaya hidup konsumtif meningkat maka produksi juga akan terus meningkat, bila hasil produksi meningkat maka kerusakan alam pun akan terus meningkat. Ungkapan ini cukup koherens tetapi sangat real dalam kehidupan kita. Maka bagi penulis perlu adanya pembatasan dan langkah taktis untuk mencegah kerusakan ini. Wallahu A’lam. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *