
filter: 0; jpegRotation: 0; fileterIntensity: 0.000000; filterMask: 0; module:1facing:0; hw-remosaic: 0; touch: (0.19722222, 0.19722222); modeInfo: ; sceneMode: Hdr; cct_value: 0; AI_Scene: (200, -1); aec_lux: 0.0; hist255: 0.0; hist252~255: 0.0; hist0~15: 0.0;
Ruang GAGASAN SR
Oleh: Syahril Rahman, S.Kom.I, M.Ag
(Kader Pemikir Islam Indonesia-KPII / Lembaga Studi Agama dan Filsafat – Universitas Paramadina)
Indonesia, dengan keberagamannya yang kaya, seringkali disebut sebagai miniatur dunia. Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya yang kita miliki adalah anugerah tak ternilai. Layaknya benang-benang warna-warni yang disulam menjadi kain pelangi yang indah, keberagaman ini seharusnya menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Metafora “menyulam kain pelangi” adalah gambaran indah tentang keberagaman yang saling melengkapi. Namun, dalam realitas, upaya menyatukan berbagai warna dalam satu kain seringkali menemui tantangan. Benang-benang yang berbeda warna dan tekstur kerap kali sulit disatukan, bahkan terkadang saling menarik dan menyebabkan kain robek.
Isu SARA masih kerap menghantui, perbedaan pendapat seringkali memicu perpecahan, dan sikap intoleransi masih mengintai di berbagai sudut masyarakat. Keberagaman seharusnya menjadi kekuatan, bukan ancaman. Namun, dalam praktiknya, kita seringkali melihat bagaimana perbedaan agama, suku, budaya, dan bahkan pandangan politik justru memicu konflik dan perpecahan. Toleransi, yang menjadi bingkai utama dalam menyulam kain pelangi, seringkali hanya menjadi slogan semata.
Bagi Buya Syafii Maarif, toleransi adalah kunci untuk mewujudkan harmoni dalam keberagaman. Dia menggarisbawahi pentingnya saling menghormati perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku, maupun pandangan. Toleransi bukan berarti menyamakan semua perbedaan, tetapi mengakui dan menghargai keberadaannya. Dalam Pandangan Buya, agama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk hidup berdampingan secara damai. Keberagaman bukan sekadar perbedaan, melainkan kekayaan yang patut kita syukuri. Setiap perbedaan membawa perspektif unik yang dapat memperkaya khazanah pengetahuan dan budaya kita. Justru dalam perbedaanlah kita belajar untuk saling menghargai, memahami, dan berkompromi.
Sebagaimana pandangan Guru Besar UIN Palu, Prof Lukman Thahir, keberagaman ibarat pelangi yang muncul setelah hujan. Setelah badai perbedaan melanda, kita harus mampu bangkit dan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan itu menjadi sebuah keindahan. Dengan menyulam benang-benang perbedaan menjadi kain pelangi yang indah, kita dapat membangun bangsa yang harmonis, maju, dan bermartabat. Toleransi bukanlah sekadar kata-kata indah yang sering kita dengar, melainkan tindakan nyata dalam menghargai perbedaan.
Konsep keberagaman dan toleransi adalah tema sentral dalam Islam. Para pemikir Islam sepanjang sejarah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam merumuskan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana seharusnya umat manusia berinteraksi dalam keberagaman.
Al-Ghazali menekankan pentingnya moderasi dalam segala hal, termasuk dalam beragama. Dia mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam dan tidak memaksakan diri pada orang lain. Meskipun tidak secara eksplisit membahas pluralisme agama dalam konteks modern, pemikiran Al-Ghazali tentang toleransi antarumat beragama dapat dilihat sebagai dasar untuk membangun hubungan yang harmonis.
Ibnu Taimiyyah dikenal sebagai ulama yang tegas dalam mempertahankan ajaran Islam. Namun, dia juga menekankan pentingnya keadilan dan toleransi dalam berinteraksi dengan non-Muslim. Dia memberikan pandangan yang komprehensif tentang perjanjian damai dengan non-Muslim dan pentingnya menghormati hak-hak mereka selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh pembaharuan Islam yang paling berpengaruh. Dia menekankan pentingnya interpretasi Al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman dan mendorong umat Islam untuk berinteraksi secara positif dengan dunia modern. Abduh melihat bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Ia mendorong umat Islam untuk membangun hubungan yang baik dengan pemeluk agama lain.
Rashid Rida melanjutkan pemikiran Muhammad Abduh. Dia menekankan pentingnya menjaga kesatuan umat Islam dan memperkuat identitas Islam dalam menghadapi tantangan modernitas. Rida juga mendorong dialog antaragama sebagai upaya untuk membangun pemahaman yang lebih baik antara umat beragama.
Ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Tariq Ramadan, dan Fethullah Gulen terus mengembangkan pemikiran tentang toleransi dan keberagaman dalam Islam. Mereka berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan realitas dunia yang semakin kompleks dan pluralis.
Pemikiran para tokoh Islam tentang keberagaman dan toleransi memberikan landasan yang kuat untuk membangun masyarakat yang inklusif dan damai. Konsep “Menyulam Kain Pelangi” merefleksikan keindahan keberagaman yang dapat disatukan dalam bingkai toleransi. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh para pemikir Islam, kita dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik bagi semua. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, toleransi menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup bersama. Ketika kita mampu menghargai perbedaan, maka konflik dan perpecahan dapat dihindari. Sebaliknya, jika kita terus-menerus mempertajam perbedaan, maka persatuan dan kesatuan bangsa akan terancam.
Mantap