
Ruang GAGASAN SR
Oleh: Syahril Rahman, S.Kom.I, M.Ag
(Kader Pemikir Islam Indonesia-KPII / Lembaga Studi Agama dan Filsafat – Universitas Paramadina)
Dalam era yang semakin maju ini, pengetahuan dan ilmu semakin mudah diakses. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sering kali kita menyaksikan fenomena di mana individu yang memiliki pengetahuan luas justru berperilaku tidak sesuai dengan norma dan etika. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ilmu yang tinggi menjamin seseorang memiliki adab yang baik?
Ilmu pengetahuan sejatinya adalah anugerah yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Namun, jika ilmu tidak diimbangi dengan adab, maka ilmu tersebut dapat menjadi senjata yang berbahaya. Ibarat pedang bermata dua, ilmu dapat digunakan untuk kebaikan maupun kejahatan.
Ilmu pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun, jika ilmu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain, maka tujuan ilmu tersebut tidak tercapai.
Sebagai pemegang ilmu, seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan ilmunya secara bijak dan bertanggung jawab. Adab yang baik akan membimbing ilmuwan dalam mengambil keputusan yang etis.
Ilmu dan adab adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Seseorang yang berilmu tinggi namun tidak beradab akan sulit untuk menjalin hubungan sosial yang harmonis.
Kita sering menjumpai kasus di mana orang yang berpendidikan tinggi terlibat dalam tindakan korupsi, penipuan, atau bahkan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual semata tidak cukup untuk menjamin seseorang memiliki perilaku yang baik.
Peribahasa “ilmu tanpa adab bagai pohon tanpa akar” telah menjadi semacam mantra dalam berbagai budaya. Ungkapan ini menyiratkan bahwa pengetahuan semata tidaklah cukup untuk membuat seseorang menjadi manusia yang utuh. Adab, sopan santun, dan etika merupakan pilar penting yang menopang bangunan ilmu.
Sepanjang sejarah, kita menemukan contoh-contoh di mana individu atau kelompok yang memiliki pengetahuan yang luas namun kekurangan adab telah menimbulkan masalah besar.
Pada zaman Yunani kuno, Para filsuf, seperti Socrates, telah memperingatkan bahaya dari pengetahuan tanpa kebijaksanaan. Mereka menekankan pentingnya menyeimbangkan pencarian ilmu dengan pengembangan karakter moral.
Pada zaman Abad Pertengahan, Gereja Katolik, sebagai pusat pengetahuan pada masa itu, seringkali menggunakan ilmu untuk menguatkan kekuasaan dan mengendalikan masyarakat. Namun, praktik-praktik seperti Inkuisisi menunjukkan bagaimana ilmu dapat disalahgunakan ketika tidak didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Zaman Modern ini, Revolusi Industri dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan munculnya berbagai masalah sosial, seperti eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan, dan pengembangan senjata pemusnah massal. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak selalu diikuti oleh peningkatan kualitas hidup manusia.
Dalam era informasi saat ini, di mana pengetahuan dapat diakses dengan mudah melalui internet, masalah ketidakseimbangan antara ilmu dan adab menjadi semakin relevan.
Platform media sosial telah memungkinkan penyebaran informasi yang sangat cepat. Namun, seringkali informasi yang beredar tidak terverifikasi dan penuh dengan ujaran kebencian. Hal ini menunjukkan bagaimana kemudahan akses terhadap informasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas berpikir.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah membuka peluang baru dalam berbagai bidang. Namun, muncul kekhawatiran bahwa AI dapat digunakan untuk tujuan yang merusak, seperti pengembangan senjata otonom atau manipulasi opini publik.
Mengapa Adab Penting…?
Adab memiliki peran yang sangat penting dalam memandu penggunaan ilmu pengetahuan. Beberapa alasan mengapa adab sangat penting antara lain:
- Mencegah Penyalahgunaan Ilmu: Adab dapat mencegah ilmu pengetahuan disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
- Membangun Hubungan Sosial: Adab yang baik memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan orang lain secara harmonis dan membangun hubungan yang positif.
- Menghormati Kehidupan: Adab mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan dan semua makhluk hidup lainnya.
Adab adalah investasi jangka panjang. Adab itu penting karena merupakan fondasi dari kehidupan yang harmonis dan bermakna. Adab adalah cerminan dari kepribadian seseorang, menunjukkan bagaimana kita menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Adab merupakan konsep yang sangat penting dalam Islam, merujuk pada tata krama, etika, atau sopan santun dalam berinteraksi dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar. Konsep ini begitu mendasar sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan seorang muslim.
Sehingga berbagai Pemikir Islam memiliki pandangan yang beragam namun saling melengkapi mengenai adab.
Salah satunya adalah, Imam Al-Ghazali. Dia menegaskan bahwa adab merupakan manifestasi dari iman yang sejati. Tanpa adab, ibadah seseorang tidak akan sempurna.
Selain itu ada Ibnu Maskawaih, yang mengatakan bahwa adab adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan tanpa perlu berpikir panjang.
Adab, selain sebagai fondasi iman, juga sebagai jalan menuju kesempurnaan. Sebagaiaman para sufi berpandangan, bahwa adab adalah tangga menuju kesempurnaan spiritual. Dengan mengamalkan adab, seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan kehadiran-Nya.
Ilmu dan adab merupakan dua konsep fundamental dalam Islam yang saling melengkapi dan tak terpisahkan. Ilmu memberikan pengetahuan, sedangkan adab memberikan panduan dalam mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai pandangan pemikir Islam, hubungan antara ilmu dan adab selalu menjadi perhatian utama.
Para ulama dan pemikir Islam telah menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan adab. Ilmu tanpa adab ibarat pedang tajam di tangan seorang anak kecil, dapat melukai diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, adab tanpa ilmu ibarat bangunan tanpa pondasi, mudah runtuh saat dihadapkan pada tantangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama penuntut ilmu adalah untuk memperbaiki akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu yang sejati adalah yang mampu mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik. Sebagaimana dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”, beliau menjelaskan bahwa adab merupakan syarat mutlak bagi seorang penuntut ilmu. Tanpa adab, ilmu tidak akan bermanfaat dan bahkan dapat menjadi bumerang.
Ibnu Mas’ud, yang juga seorang sahabat Nabi Muhammad SAW ini pernah berkata, “Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.” Artinya, ilmu harus diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan yang baik.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, ilmu dan adab adalah dua komponen yang saling melengkapi. Ilmu memberikan kita pengetahuan, sedangkan adab memberikan kita hikmah untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut.
Di era modern saat ini, tantangan dalam menyeimbangkan ilmu dan adab semakin kompleks. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat membuat manusia cenderung lebih mengedepankan aspek intelektual daripada spiritual.
Sehingga tantangan yang dihadapi adalah lahirnya Individualisme, sebuah kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan pribadi dapat mengabaikan nilai-nilai kolektif dan sosial. Hal ini kemudian akan berorientasi pada sifat Materialisme, suatu Orientasi pada materi yang dapat menggeser nilai-nilai spiritual dan moral. Sehingga memunculkan pandangan Sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan public yang dapat melemahkan peran agama dalam membentuk karakter individu.
Pentingnya pendidikan Islam harus menekankan pada pengembangan intelektual dan moral secara seimbang. Pendidikan Islam harus mampu menjawab tantangan zaman modern dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai fundamental Islam. Pendidikan Islam juga harus mendorong pemikiran kritis dan terbuka terhadap berbagai perspektif.
Kasus Gus Miftah: Persimpangan antara Ilmu dan Adab
Kasus yang melibatkan Gus Miftah ini menarik untuk didiskusikan karena menyentuh dua aspek penting dalam kehidupan manusia, yaitu ilmu dan adab.
Dalam konteks agama, ilmu yang dimiliki seseorang seharusnya menjadi pedoman untuk berperilaku. Seorang ulama atau tokoh agama diharapkan memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama, termasuk etika dan moralitas.
Adab atau sopan santun merupakan cerminan dari ilmu yang dimiliki seseorang. Seberapa pun luasnya ilmu seseorang, jika tidak diimbangi dengan adab yang baik, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.
Dalam kasus ini, banyak yang mempertanyakan apakah tindakan Gus Miftah sudah sesuai dengan ilmu dan adab yang seharusnya dimiliki oleh seorang tokoh agama. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain:
- Apakah tindakan Gus Miftah mencerminkan sikap seorang ulama yang seharusnya menjadi teladan?
- Apakah perkataan Gus Miftah bisa dibenarkan dari sudut pandang ajaran agama?
- Bagaimana seharusnya seorang tokoh agama berinteraksi dengan masyarakat, terutama dengan mereka yang dianggap lebih rendah secara sosial?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita dapat melihat kasus ini dari berbagai perspektif:
- Perspektif Agama: Dalam agama Islam, terdapat banyak hadis yang mengajarkan tentang pentingnya beradab dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Seorang muslim harus selalu menjaga lisannya dari perkataan yang buruk dan menyakiti hati orang lain.
- Perspektif Sosial: Sebagai seorang tokoh publik, Gus Miftah memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Tindakannya akan menjadi contoh bagi banyak orang, terutama para pengikutnya. Oleh karena itu, penting bagi beliau untuk selalu menjaga perilaku dan ucapannya.
- Perspektif Hukum: Meskipun belum ada laporan resmi mengenai pelanggaran hukum dalam kasus ini, namun tindakan Gus Miftah dapat dinilai dari perspektif hukum, terutama terkait dengan pencemaran nama baik dan penghinaan.
Kasus Gus Miftah memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, terutama bagi para tokoh agama dan masyarakat umum. Beberapa pelajaran yang dapat kita petik antara lain:
- Ilmu tanpa adab sama dengan nol: Sepintar apapun seseorang, jika tidak diimbangi dengan adab yang baik, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.
- Setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang baik: Tidak peduli siapa pun orangnya, setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan dihormati.
- Tokoh agama harus menjadi teladan: Sebagai seorang tokoh agama, kita harus selalu berusaha menjadi teladan bagi masyarakat dengan berperilaku yang baik dan sesuai dengan ajaran agama.
Kasus Gus Miftah menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga ilmu dan adab. Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk selalu berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
1 thought on “KETIKA ILMU TAK SEPADAN DENGAN ADAB”