Oleh: Asyraf Khayali
(Pecinta seni kaligrafi dan hobi bermain catur yang saat ini menyibukkan diri dalam menyaksikan film-film superhero)
Filsafat tidak bermaksud memperumit hal-hal yang ada dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, filsafat justru menyederhanakan hal-hal yang selama ini tidak pernah disadari. Memahami cara kerja kehidupan manusia, memang, pada awalnya mengalami proses yang cukup pelik. Tapi, semua itu akan berujung pada kesederhanaan.
Kesederhanaan bukan terletak pada aktifitas manusia yang tidak ingin mengambil peran mencolok, baik dalam bentuk kerja fisik atau kerja pikiran. Kesederhanaan bukan pula pada hal-hal yang sifatnya santai dan menikmati hidup praktis. Kesederhanaan terletak pada pemahaman akan kehidupan itu sendiri.
Namun, pemahaman akan kehidupan bukan juga kesederhanan yang diperoleh secara tiba-tiba tanpa proses renungan, kontemplasi, dan penalaran. Proses pemahaman akan terus menuntut kerja pikiran.
Mirisnya, kerja pikiran inilah yang sering dianggap sebagai kerumitan dalam filsafat. Dunia filsafat dipenuhi pikiran-pikiran abstrak, njelimet, spekulasi dan kadang terlampui bombastis dalam menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru. Seakan kerja filsafat hanya bergelut dalam simbol “tanya” (?) semata.
Agama, ilmu pengetahuan, dan seni pun mengkritik filsafat dari sisi ini. Di sini-lah celah filsafat menuai kritikan pedas. Celah semacam ini yang membuat para filsuf hanya orang-orang yang sibuk dengan olah pikiran dan hanya berisi manusia-manusia “menara gading” yang sibuk dengan diri sendiri, kata mereka.
Para seniman khawatir bahwa filsafat akan mengerdilkan perasaan manusia. Ketajaman filsafat yang dingin mencegah manusia menjalani hidup dalam keindahan rasawi. Para ilmuwan juga percaya bahwa penelitian sains lebih maju tinimbang filsafat yang hanya duduk berpikir tanpa menunjukkan fakta-fakta empiris.
Agama justru mengklaim filsafat akan menodai dan menggerogoti doktrin-doktrin agama yang telah mapan, sehingga dapat menjerumuskan manusia dalam kesesatan. Bahkan, orang-orang awam pun mencerca pengasingan diri para filsuf yang sibuk menarik diri ke universitas demi intelektualitas yang jumud, dan mencurigai filsafat sebagai konspirasi elitis.
Argumen-argumen tersebut tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Ketika melirik sejarah umat manusia beberapa abad silam, ditemukan bahwa manusia sibuk membangun piramid, bendungan, lumbung padi, sistem perairan dan segala macam bangunan-bangunan lainnya.
Awalnya, manusia melakukan itu demi kelangsungan hidup mereka sendiri. Segala perhitungan matematis diturunkan. Rumus-rumus matematika baru dicari, bahkan diciptakan. Sekolah-sekolah didirikan hanya untuk mendorong peserta didik menemukan teorema-teorema baru. Kemampuan deduksi manusia pun aktif dan berkembang. Semua itu demi kepentingan dunia praktis manusia.
Problem tersebut menjadi dilema kehidupan manusia. Urusan perut mengambil alih pikiran, yang dengan itu kemampuan kognitif manusia berkembang pesat. Di sini-lah filsafat bertanya: bagaimana bisa hal sepele ini membuat manusia sibuk? Mengapa manusia menghabiskan waktunya hanya untuk hal-hal yang pada dasarnya tidak sederhana ini? Siapa sebenarnya yang memperumit hidup? Sampai di sini, filsafat merobek kemapanan kehidupan manusia yang selama ini dianggap sederhana. Pertanyaan sederhana filsafat ini justru membungkam kerumitan. Bertanya, akhirnya, adalah bentuk penyerderhanaan kehidupan. Sedang menjalani hidup secara cuma-cuma adalah memperumit kehidupan itu sendiri.