DARI SUBJEK MENUJU SIMULASI SOSIAL

OPINI
Bagikan ke :

Oleh:  Asyraf Khayali
(Pecinta seni kaligrafi dan catur yang saat ini sibuk menyaksikan film-film superhero)

Di sini, subjektifitas diri yang dimaksud adalah ihwal bagaimana psikis manusia atau jiwa manusia membentuk dirinya. Telah banyak pemikir mencurahkan seluruh perhatian hidupnya untuk menguak misteri di balik psikis atau jiwa manusia. Di awal masa modern, Descartes, lewat rasionalisme-nya telah meletakkan jiwa manusia berada di puncak singgasananya dengan mengatakan cogito ergo sum “aku berpikir maka aku ada”.

Lewat kesadaran Certesian semacam ini, jiwa manusia ditempatkan sebagai basis utama dalam membentuk sebuah kesadaran bahwa subjek berada dalam dunia. Untuk mengetahui bahwa subjek hadir dalam dunia, maka Descartes menyebutkan tiga ide sebagai komponen utama dalam proses pembentukannya: 1) Innate (ide bawaan), ide ini datang dari sifat alami manusia. 2) Factitious, ide ini ditemukan oleh imajinasi manusia, ide ini diperoleh dari penemuan imajinatif manusia.3) Adventitious, merupakan ide yang berasal dari benda-benda di luar diri manusia.

Teori Descartes mengenai jiwa tidak memuaskan dahaga pemikir lainnya. Kritikan itu datang dari dunia psikologi. Di sini, Sigmund Freud muncul di garis terdepan dalam menguak misteri jiwa manusia. Lewat psikoanalisanya, Freud menyatakan bahwa terdapat sisi lain dari kesadaran manusia, yakni apa yang digambarkannya sebagai alam pre-conscious “pra-sadar”. Namun, poin utama yang diajukan Freud adalah tiga titik kepribadian manusia, yakni ego, superego, dan id.

Konsep tentang id dianggap sebagai yang pertama dari tiga titik kepribadian yang diajukan Freud. Id merupakan fase hewaniah manusia sejak awal evolusinya. Tahap berikutnya terletak di posisi tengah-tengah dari keinginan jasmani dan tuntutan masyarakat, yakni ego. Tugas utama ego adalah menampilkan keseimbangan yang kontinyu dalam diri manusia, dan di sinilah letak penentu pilihan kepribadian manusia. Ego, di satu pihak, hendak memenuhi keinginan id, namun di pihak lain harus siap menyokong atau menolak keinginan tersebut jika keinginan jasmani bertabrakan dengan kenyataan alam fisik atau saat berhadapan dengan larangan-larangan sosial yang berasal dari superego.

Di tempat lain, filsuf postmodernis Jacques Lacan, dengan mengkritik psikoanalisa Freud mangajukan tiga tatanan proses pembentukan subjek, yakni tatanan imajiner, simbolik, dan real.

Pertama, tatanan imajiner, yakni dimensi imaji, baik sadar maupun tidak sadar, baik dipahami maupun diimajinasikan. Pada tatanan ini terjadi mirror-stage, dimana seorang anak tidak dapat mengenali dirinya secara utuh kecuali melalui tahap cermin. Artinya, seorang anak akan mengidentifikasikan dirinya dari gambaran-gambaran yang dilihatnya.

Kedua, tatanan simbolik, yakni tatanan yang mengacu kepada simbol. Simbol yang dimaksud adalah “penanda”, dimana “penanda” tidak memiliki maknanya sendiri, dan hanya berfungsi untuk menunjukkan kepada sesuatu “yang ditandakan”. Di sini, subjek telah mulai terbentuk.

Ketiga, tatanan real, yakni tatanan yang bertindak sebagai pengaman yang perlahan akan terbentuk dan secara terus menerus akan mengalami perubahan.

Saat subjektivitas manusia telah terbentuk, maka subjek yang satu akan bertemu dengan subjek lainnya, sehingga melalui pertemuan tersebut akan tercipta dunia sosial. Dunia sosial merupakan kumpulan masyarakat dalam sebuah jejaring yang mempertemukan antara satu individu dengan individu lainnya.

Terbentuknya dunia sosial melibatkan banyak individu atau agen dalam sebuah struktur sosial. Di sini, dunia sosial yang dimaksudkan adalah peran agen dalam membentuk struktur, begitupun sebaliknya, peran struktur dalam membentuk agen. Dengan kata lain, antara agen dan struktur tak dapat dipisahkan dalam dunia sosial.

Filsuf postmodernis yang juga sosiolog, Jean Baudrillard, mengatakan bahwa realitas sosial merupakan dunia simulasi. Simulasi bagi Baudrillard dapat ditandai dengan hilangnya representasi. Dunia simulasi adalah sebuah dunia yang referensinya tak lagi memiliki acuan. Namun, Baudrillard membedakan antara memalsukan dan mensimulasikan.

Memalsukan digambarkan oleh Baudrillard seperti seseorang yang ingin memalsukan dirinya bahwa ia sedang sakit, dapat saja ia secara langsung beranjak ke tempat tidur lalu mengaku bahwa dirinya sakit. Dalam pemalsuan yang dilakukannya, masih terdapat perbedaan antara yang real dan non-real, karena pemalsuan merupakan bentuk penutupan terhadap yang real oleh yang non-real.

Sedang dalam dunia simulasi yang terjadi adalah fenomena sakit tidak sekadar berangkat ke kasur untuk tidur. Lebih dari itu, yang dimunculkan dalam dunia simulasi adalah proses memproduksi simptom itu sendiri. Dalam proses produksi simptom tersebut yang terjadi adalah hilangnya antara yang real dan non-real. Dalam dunia pensimulasian, sulit membedakan apakah seseorang itu sakit atau tidak.

Untuk memperjelas gagasan Baudrillard di atas, sebuah karya seni dapat dijadikan sebagai contoh lain. Misalnya, dalam dunia Disneyland akan ditemukan fantasi dan ilusi di mana-mana. Bajak laut, dunia masa depan, dan berbagai macam fantasi dan ilusi lainnya merupakan contoh dari dunia simulasi. Disneyland seakan ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang asli, sedangkan Amerika dan Los Angles di mana Disneyland berada seakan hanya ilusi dan fantasi semata.

Namun persoalan utama, sebagaimana yang terjadi dalam Disneyland, adalah bukanlah terkait mana yang palsu dan yang asli. Tetapi, dunia yang dihuni manusia seakan terjadi tumpang-tindih antara kenyataan dan fantasi, bahkan tidak memiliki perbedaan sama sekali. Yang real telah berubah wujud menjadi non-real, begitupun sebaliknya, yang non-real berubah wujud menjadi real.

Hal serupa terjadi, misalnya, ketika melihat sebuah tokoh dalam karya sastra dijadikan patung pajangan di jalan-jalan, ataupun sebaliknya, tokoh-tokoh di dunia nyata sering dijadikan tokoh utama dalam karya fiksi.

Namun, apa yang diajukan Baudrillard di atas hanyalah analogi dari dunia simulasi. Dunia simulasi mencakup tatanan yang lebih luas dari sekadar contoh-contoh di atas. Segala bentuk kebudayaan, politik, ekonomi, hingga ilmu pengetahuan dalam dunia sosial merupakan simulasi. Untuk memahami lebih dalam ihwal simulasi sosial, maka konsep dramaturgi Erving Goffman sangat tepat dijadikan contoh.

Dramaturgi merupakan konsep mengenai represantasi sang subjek dalam bertindak di tengah lingkungan sosial. Bagaikan impression management yang dilakukan sang subjek untuk menyesuaikan dirinya di tengah lingkungan sosial, dimana sang subjek akan melakukan berbagai strategi agar dapat beradaptasi dengan ekpektasi sosial. Sang subjek akan berupaya menempatkan dan mengatur image atau persona agar dapat diterima masyarakat.

Layaknya seseorang yang mementaskan drama di atas panggung, sang drawaman akan menampilkan performa menawan di hadapan penonton. Karakter-karakter yang ditampilkan di atas panggung sebisa mungkin harus dapat diterima oleh penonton bahwa karakter yang dimainkan sang dramawan sesuai dengan ekpektasi penonton.

Penonton tidak peduli apa yang terjadi di backstage (belakang panggung), karena hal tersebut berhubungan dengan pribadi sang subjek. Sang subjek hanya memerankan apa yang diinginkan penonton. Jika penonton mengetahui sisi gelap sang subjek, misalnya, maka rasa antipati kepada sang idola akan menurun dan menyebabkan rasa kecewa. Seperti itulah yang terjadi dalam dunia sosial.

Dunia sosial dipenuhi dengan drama, sebuah simulasi yang diciptakan saat individu yang satu bertemu dengan individu lainnya. Struktur sosial semacam ini disebut oleh Jean-Paul Sartre sebagai dunia yang memuakkan. Sartre menyebutkan bahwa “orang lain adalah neraka”. Artinya, relasi antara manusia menjadikan sang subjek sebagi objek bagi yang lainnya. Kebebasan individu dibekukan. Kebebasan subjek harus sesuai dengan ekpektasi sosial. Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa simulasi sosial merupakan ciptaan agen untuk menyesuaikan dirinya dengan struktur, dan di sisi lain, struktur memiliki ekpektasi yang bersifat komunal sehingga dengannya individu-individu membentuk dirinya sendiri. Akhirnya, simulasi sosial hanyalah dunia ciptaan semata yang dibuat oleh para agen dalam struktur sosial saat individu yang satu bertemu dengan individu lainnya dalam sebuah jejaring masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *