
filter: 0; jpegRotation: 90; fileterIntensity: 0.000000; filterMask: 0; module:1facing:0; hw-remosaic: 0; touch: (0.73703706, 0.73703706); modeInfo: ; sceneMode: Auto; cct_value: 0; AI_Scene: (0, -1); aec_lux: 0.0; hist255: 0.0; hist252~255: 0.0; hist0~15: 0.0;
Ruang GAGASAN SR
Oleh: Syahril Rahman, S.Kom.I, M.Ag
(Kader Pemikir Islam Indonesia-KPII / Lembaga Studi Agama dan Filsafat – Universitas Paramadina)
Peralihan ulama dari mimbar ke kursi politik merupakan fenomena menarik yang telah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini memunculkan beragam pertanyaan dan perdebatan, mulai dari sejauh mana keterlibatan ulama dalam politik diperbolehkan, hingga dampaknya terhadap otoritas agama dan stabilitas politik.
Keterlibatan ulama dalam politik bukanlah hal baru. Sejak masa Rasulullah SAW, ulama memiliki peran penting dalam memberikan nasihat dan masukan kepada pemimpin. Namun, dalam konteks modern, keterlibatan ini seringkali diwarnai oleh dinamika politik yang kompleks dan beragam kepentingan.
Faktor modernisasi dan globalisasi membawa perubahan besar pada masyarakat, termasuk perubahan nilai dan norma. Ulama merasa perlu terlibat dalam politik untuk menjaga nilai-nilai agama agar tidak tergerus oleh arus modernisasi. Ulama ingin melihat nilai-nilai agama diterapkan dalam kebijakan publik. Mereka berharap dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat melalui jalur politik. Selain itu Umat seringkali meminta ulama untuk terlibat dalam politik, terutama dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Judul ini menyiratkan peralihan peran ulama dari sebatas pemberi khotbah di mimbar (sebagai simbol otoritas keagamaan) menuju kursi kekuasaan politik. Ini merupakan refleksi dari keterlibatan ulama dalam ranah politik yang semakin intensif, baik sebagai aktor langsung maupun sebagai pengaruh di balik layar.
Terdapat beragam perspektif pemikir Islam mengenai keterlibatan ulama dalam politik. Salah satu pemikir Islam klasik yang membenarkan keterlibatan ulama dalam politik adalah Al-Mawardi. Menurutnya, ulama memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat kepada penguasa dan bahkan ikut serta dalam pemerintahan jika diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebaikan. Banyak pemikir Islam modern yang juga mendukung keterlibatan ulama dalam politik, dengan alasan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Mereka berpendapat bahwa ulama memiliki peran penting dalam memberikan arah dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.
Secara umum, tokoh-tokoh yang mendukung gagasan ini adalah mereka yang meyakini bahwa agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Mereka berpendapat bahwa ulama memiliki tanggung jawab moral untuk terlibat aktif dalam politik demi mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab berdasarkan nilai-nilai Islam. Tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rashid Rida yang mendorong pembaharuan Islam dan memandang bahwa Islam memiliki relevansi dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik.
Di sisi lain, ada juga tokoh yang tidak sependapat dengan gagasan tersebut. Mereka berpendapat bahwa peran utama ulama adalah sebagai pemberi nasihat agama dan tidak perlu terlibat secara langsung dalam politik praktis. Mereka khawatir jika ulama terlalu terlibat dalam politik, agama akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu dan dapat menimbulkan perpecahan umat. Ulama harus menjaga netralitas agar dapat memberikan nasihat yang objektif kepada seluruh umat, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Ada juga ulama yang berpegang teguh pada tradisi bahwa ulama sebaiknya fokus pada urusan agama dan tidak perlu terjun ke dunia politik.
Fenomena ulama yang terjun ke dunia politik merupakan dinamika menarik dalam lanskap sosial-politik kontemporer. Transisi ini, yang seringkali diartikan sebagai pergeseran dari peran religius menjadi peran sekuler, telah memicu beragam respons, termasuk kritik. Fenomena keterlibatan ulama dalam politik bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban Islam. Di Indonesia, peran ulama dalam dinamika politik semakin kompleks dan menarik untuk dikaji. Dari mimbar masjid, mereka kemudian melangkah ke panggung politik, menempati kursi-kursi strategis dalam pemerintahan. Trajektori ini membawa sejumlah implikasi, baik peluang maupun tantangan, bagi agama, negara, dan masyarakat.