Oleh: Mustakiram, S.Sos., M.Ag
(Dosen UIN Alauddin Makassar)
Puasa merupakan Ibadah Sirriyah yaitu Ibadah rahasia, seseorang dikatakan sedang berpuasa bukan dilihat dari pembawaan badan terlihat lemas dan wajah yang pucat serta bibir mengering. Ibadah puasa terdapat pada kesungguhan niat dan ketagaran diri untuk berjuang melawan hawa Nafsu karena Ibadah puasa adalah Ibadah rahasia bukan pujian manusia yang memberikan ganjaran pahala langsung hanyalah Allah azza Wajallah. Uraian ini senada dengan Ungkapan Ali Bin Abi Thalib, antara lain:
“mendekati akhir Ramadhan kegelisahan mulai muncul menghampiri diriku, seandainya Ibadah puasa dapat diketahui, puasa siapakah yang akan diterimah oleh Allah maka saya akan hadir di rumahnya dan memberikan selamat kepadanya bahwa ibadahnya selama ramdahan diterimah oleh Allah dan puasa siapakah yang tidak diterimah oleh Allah niscaya saya akan hadir di rumahnya untuk menghibur mereka siapa-saipa yang puasa tidak diterima oleh Allah. Namun, ibadah puasa tidak dapat diketahui oleh siapapun kecuali Allah Swt”.
Ungkapan Sayyidina Ali ra. di atas menjelaskan secara tersirat bagaimana ibadah puasa penuh dengan misteri ilahi maka momentum Bulan Ramdhan merupakan Bulan pendidikan, bulan Magfira, bulan melatih ketajaman pikiran serta ketajaman mata hati bagi orang-orang yang beriman dan mengikuti rangkaian Ibadah di dalamnya.
Riset tentang puasa sudah banyak, ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya dari segi ilmu kedokteran bangaimana puasa meningkaan daya tahan tubuh, membakar lemak karena disebabkan perubahan pola makan dan pola tidur selama Bulan Ramadhan selain itu juga dalam perspektif Sosiologi Agama bahwa puasa di bulan ramadhan bukan hanya dilihat dari aspek Ibadah mahda semata tetapi berpuasa di bulan ramadhan juga untuk mengasah jiwa orang-orang beriman terhadap lingkungan sosial, bahwa berpuasa di bulan ramadhan ada proses egliter di dalamnya. Bagi orang yang memiliki secuil keimanan tetap diwajibkan untuk berpuasa, kaya maupun yang miskin mereka semua diberikan hak yang sama dalam melatih diri melawan hafa nafsu menjalankan ibadah puasa. Selain itu, pesan egaliter lain dari puasa agar menghadirkan kesadaran sosial terhadap orang-orang yang lemah di sekitarnya, dengan berpuasa menahan diri tidak makan dan minum seharian penuh menghadirkan kesetaraan dan menghadirkan rasa ibah dalam diri bahwa keadaan semacam inilah yang dirasakan oleh orang-orang lemah (Mustadafin) tidak makan berhari-hari. hal ini searah dengan spirit yang disampaikan oleh Nabi untuk menyantuni orang miskin dengan predikasi orang yang berpuasa “barangsiapa yang memberikan makanan kepada orang yang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala dari orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa”.
Pernyataan Nabi dengan ungkapan yang lain, Bulan Sya’ban adalah bulanku dan Bulan ramadhan adalah bulan umatku. Menurut penulis, Pernyataan Nabi bahwa bulan Ramadhan ini adalah Bulan Umat-ku karena di bulan ramdahan di dalamnya ada pendidikan, umat muslim dilatih untuk banyak melakukan perbuatan baik agar mendapatkan ampunan (magfirah) dari Allah Swt. Para ulama mengategorikan kondisi ini dengan istilah Insan Ramadhani yaitu orang-orang yang berharap kebaikan yang banyak dalam momentum bulan suci ramadhan karena ramadhan adalah bulan pendidikan, banyak ujian di dalamnya kelak orang-orang yang menjalankan Ibada puasa dan Ibadah lainya berubah dari Insan Ramadhani ke Insan Robbani sebgaimana puncak diwajibkannya berpuasa di Bulan Ramadhan agar meraih gelar takwa. Hal ini diafirmasi sendiri oleh al-Qur’an surah al-Baqarah/2;183 yaitu agar menjadi orang yang bertakwa. Lalu bagaimana caranya untuk meraih gelar takwa ketika berpuasa? Apa indicator mendapatkan gelar ketakwaan? Bagi penulis jawaban pertanyaan dari tesis statement tersebut yaitu dengan jalan menyingkap eksistensi Ilahi. dengan berpuasa di bulan ramadhan fisik (jasadiyah) seseorang mengalami proses keteraturan dan keseimbangan, orang yang berpuasa mendapatkan kejernihan pikiran serta melahirkan ketenangan jiwa. Keterjagaan jiwa yang tenang inilah yang mampu menyingkap eksistensi Ilahi.
Berpuasa di bulan Ramadhan melatih diri melawan hawa nafsu untuk membawah pada ketenangan Jiwa, pada bulan-bulan yang lain seseorang disibukkan dengan pengalaman-pengalaman indrawi yang rendah tidak mampu membawah kesadaran seseorang untuk mencapai kehakikian realitas, Iqbal menggunakan istilah ego afektif dan ego apresiatif untuk mengantarkan pada kesadaran Ilahi. Rutinitas seseorang dan pengalaman-pengalaman di luar bulan ramadhan, belum mampu tersusun dan terkonsepkan dengan baikmenghadirkan kesadaran Ilahi, maka ketika dalam bulan Ramadhan jiwa seseorang mengalami ketenangan, pengalaman-pengalaman itu direfleksikan, disusun dan dikonsepsikan dengan baik menjadi pengetahuan dalam dirinya (ego apresiatif) membawa pada kesadaran Ilahi. Orang yang berpuasa di bulan ramadhan merupakan menyujian jiwa (Tazkiyatun Nafs) yaitu perjalanan materi (pengalaman rendah) ke perjalanan spiritual (pengalaman tinggi) untuk menyingkap eksistensi Ilahi. sebagaimana stasiun-stasiun tingkatan maqomat yang telah diajarkan oleh para sufi untuk mencapai kesadaran Ilahi. seseorang telah mampu menyingkap eksistensi Tuhan dalam dirinya maka seseorang itu cenderung berhati-hati dalam bertindak, maka bagi penulis itulah poin diwajibkan berpuasa agar mendapatkan gelar takwah yaitu melatih diri untuk menyingkap eksistensi Tuhan dalam dirinya agar bertindak kehati-hatian (bertakwa) selalu merasa Tuhan mengawasi hidupnya. (***)