
Ruang GAGASAN SR
Oleh: Syahril Rahman, S.Kom.I, M.Ag
(Kader Pemikir Islam Indonesia-KPII / Lembaga Studi Agama dan Filsafat – Universitas Paramadina)
Perkembangan zaman yang begitu pesat, ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seolah-olah menghadirkan tantangan baru bagi iman manusia. Konflik antara akal dan iman, yang telah berlangsung sejak zaman Yunani Kuno, kembali mencuat dalam wujud yang lebih kompleks di era modern ini.
Di satu sisi, akal manusia mendorong kita untuk terus mencari tahu, mempertanyakan, dan mengeksplorasi segala hal yang ada di alam semesta. Sains, sebagai produk dari akal manusia, telah memberikan penjelasan rasional atas banyak fenomena alam yang sebelumnya dianggap misterius. Di sisi lain, iman mendorong kita untuk percaya pada hal-hal yang melampaui jangkauan akal, seperti keberadaan Tuhan, kehidupan setelah kematian, dan mukjizat.
Dilema ini semakin terasa akut karena beberapa alasan. Pertama, Keberagaman agama dan kepercayaan membuat setiap individu memiliki pemahaman yang berbeda tentang kebenaran. Hal ini seringkali memicu perdebatan dan konflik, terutama ketika dihadapkan pada temuan-temuan ilmiah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Kedua, Dalam era postmodern, konsep kebenaran mutlak semakin dipertanyakan. Relativitas kebenaran ini membuat orang sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar nyata dan apa yang hanya sekedar opini atau keyakinan pribadi. Ketiga, Masyarakat modern cenderung lebih menghargai pemikiran yang rasional dan logis. Akibatnya, orang yang beriman seringkali merasa tertekan untuk membenarkan keyakinannya dengan menggunakan argumen-argumen rasional, meskipun banyak aspek agama yang bersifat transenden dan tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal.
Konflik antara akal dan iman bukanlah hal baru dalam sejarah pemikiran Islam. Sejak zaman klasik, para ulama telah bergumul dengan pertanyaan bagaimana menyelaraskan pengetahuan yang diperoleh melalui akal (rasio) dengan keyakinan yang didasarkan pada wahyu. Dalam era modern, dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, konflik ini semakin terasa relevan dan mendesak.
Para filsuf dari berbagai tradisi pemikiran telah mencoba memberikan jawaban yang beragam terhadap dilema ini. Secara umum, para filsuf memiliki pandangan yang beragam mengenai konflik antara akal dan iman. Beberapa di antaranya mencoba untuk mendamaikan keduanya, sementara yang lain melihat keduanya sebagai entitas yang terpisah dan bahkan bertentangan.
Untuk mendamaikan akal dan iman, Thomas Aquinas, berusaha menyatukan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Dia berpendapat bahwa akal dan iman tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Akal digunakan untuk memahami dunia fisik, sementara iman digunakan untuk memahami hal-hal yang melampaui dunia fisik, seperti keberadaan Tuhan. Dalam argumentasi lain Immanuel Kant, membedakan antara dunia fenomena (dunia pengalaman) dan dunia noumena (dunia di balik fenomena). Akal manusia hanya dapat memahami dunia fenomena, sedangkan iman digunakan untuk memahami dunia noumena. Dengan demikian, Kant mencoba untuk memberikan ruang bagi agama tanpa mengorbankan otonomi akal.
Dalam perspektif lain, akal dan iman sebagai dua hal yang terpisah. Sebagaimana David Hume, seorang skeptis yang meragukan keberadaan Tuhan dan keajaiban. Dia berpendapat bahwa pengetahuan manusia hanya berasal dari pengalaman indra dan penalaran induktif. Oleh karena itu, iman yang tidak didasarkan pada bukti empiris dianggap tidak rasional. Sama halnya dengan Ludwig Wittgenstein, berpandangan bahwa soal agama berada di luar jangkauan bahasa dan logika. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan makna hidup tidak dapat dijawab secara rasional, melainkan bersifat pribadi dan emosional.
Konflik ini muncul dari pertanyaan mendasar: Sejauh mana akal manusia dapat memahami dan menjelaskan realitas yang bersifat ilahi? Di satu sisi, akal manusia adalah anugerah Tuhan yang memungkinkan kita berpikir, berlogika, dan mencari kebenaran. Di sisi sisi lain, iman adalah keyakinan terhadap hal-hal yang melampaui jangkauan akal, seperti keberadaan Tuhan, hari akhir, dan mukjizat.
Al-Ghazali, Salah satu tokoh yang paling vokal dalam menentang penggunaan akal secara berlebihan dalam memahami agama. Menurutnya, akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak mampu menjangkau seluruh kebenaran. Iman, baginya, adalah landasan utama dalam memahami agama. Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Rusyd lebih mementingkan peran akal dalam memahami agama. Dia berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Akal dapat digunakan untuk memahami makna teks-teks agama secara lebih mendalam. Sementara Fakhruddin ar-Razi, mencoba mencari jalan tengah diantara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Dia mengakui pentingnya baik akal maupun iman, namun menekankan bahwa akal harus tunduk pada wahyu.
Dalam era modern, para pemikir Islam seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Fazlur Rahman berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan kemajuan, justru mendorong umat Islam untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam modern, yang menyoroti salah satu isu secara mendalam yaitu konflik antara akal dan iman. Dalam konteks era modern, di mana kemajuan ilmu pengetahuan begitu pesat, konflik ini seringkali muncul dan menjadi dilema bagi banyak orang beragama. Menurut Fazlur Rahman, konflik antara akal dan iman bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Namun, dalam era modern, konflik ini semakin kompleks akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fazlur Rahman melihat akal dan iman sebagai dua aspek yang saling melengkapi dalam kehidupan manusia. Akal berfungsi untuk memahami dunia fisik dan alam semesta, sementara iman berfungsi untuk memahami realitas yang melampaui dunia fisik, yaitu Tuhan dan akhirat. Dia menekankan bahwa Al-Qur’an sendiri mendorong umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami agama. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk berpikir dan merenungkan alam semesta merupakan bukti nyata dari hal ini. Untuk mengatasi konflik antara akal dan iman, Fazlur Rahman mengusulkan pendekatan ijtihad yang dinamis. Ijtihad adalah upaya untuk memahami dan menerapkan hukum Islam dalam konteks zaman yang selalu berubah. Dengan ijtihad, umat Islam dapat mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dilema manusia beragama dalam Era Modern, seringkali memunculkan konflik antara akal dan iman adalah sebuah kesalahpahaman yang memunculkan berbagai isu, seperti ; Pertama, Banyak orang beragama kesulitan menerima teori evolusi karena dianggap bertentangan dengan kisah penciptaan manusia dalam kitab suci. Kedua, Perkembangan teknologi seperti rekayasa genetika dan kecerdasan buatan memunculkan pertanyaan etis yang sulit dijawab dari perspektif agama. Ketiga, alam masyarakat yang plural, banyak orang beragama dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan keyakinan mereka di tengah keberagaman agama dan kepercayaan.
Memahami konflik akal dan iman masih menjadi tantangan besar bagi umat Islam di era modern. seperti halnya perbedaan epistemologi, dimana akal mengandalkan bukti empiris dan metode ilmiah, sementara iman berlandaskan kepercayaan dan wahyu. Kemudian, interpretasi teks suci, menjadi perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan teks-teks suci dapat memicu konflik dengan pemahaman ilmiah. sehingga tekanan modernitas, dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali menantang pandangan dunia yang lebih tradisional.
Konflik antara akal dan iman merupakan dilema yang kompleks dan tidak mudah dipecahkan. Namun, dengan sikap yang bijaksana dan terbuka, kita dapat menemukan jalan tengah yang memungkinkan kita untuk hidup beragama di era modern tanpa harus mengorbankan akal atau iman kita. Jalan Keluar dari dilema ini, perlunya pendekatan dalam menghargai pluralitas pandangan. Sebab tidak ada satu jawaban yang benar dan mutlak dalam menghadapi konflik akal dan iman. Setiap individu memiliki hak untuk berinterpretasi dan berpendapat.
Konflik antara akal dan iman merupakan perdebatan yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Di era modern, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, perdebatan ini semakin kompleks. Di satu sisi, akal mendorong manusia untuk mencari penjelasan rasional atas segala fenomena, sementara iman mengacu pada keyakinan terhadap hal-hal yang melampaui pemahaman akal. Sebagian besar pandangan modern cenderung mengarah pada kesimpulan bahwa akal dan iman tidak perlu saling bertentangan. Keduanya dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Akal dapat digunakan untuk memahami dunia fisik, sementara iman dapat memberikan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam.
Pemahaman terhadap teks-teks suci dan ajaran agama perlu dilakukan dengan lebih fleksibel dan terbuka terhadap interpretasi baru. Ini memungkinkan agama untuk tetap relevan dalam era modern tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya. Baik akal maupun iman memiliki peran penting dalam membentuk etika dan moralitas manusia. Keduanya dapat saling memperkuat dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih baik.